SEMANTIK,
LOGIKA, DAN TATA BAHASA INDONESIA: FONDASI KOMUNIKASI EFEKTIF DAN BERMAKNA
SIDIQ ADITIA 24526005
Bahasa Indonesia bukan semata-mata instrumen untuk
menyampaikan informasi, melainkan sebuah medium yang kompleks di dalamnya
terkandung kemampuan untuk menyusun pemikiran, mengekspresikan perasaan, serta
menjalin relasi sosial yang bermakna. Lebih dari sekadar alat komunikasi,
bahasa merupakan cermin dari cara manusia memahami dunia dan menyusun
realitasnya secara simbolik.
Dalam ruang kelas, seminar akademik, hingga percakapan
sehari-hari, penggunaan bahasa senantiasa melibatkan proses kognitif dan sosial
yang tidak sederhana. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran bahasa
Indonesia baik sebagai objek kajian
maupun sebagai sarana ekspresi terdapat tiga pilar utama yang mutlak dikuasai: semantik,
logika, dan tata bahasa. Ketiganya bukan entitas yang berdiri
sendiri, melainkan saling terhubung dalam satu sistem yang utuh dan dinamis.
Semantik memberi warna pada makna, logika membingkai alur pikir yang
sistematis, dan tata bahasa memberikan bentuk serta struktur bagi pesan yang
ingin disampaikan.
Ketika ketiganya dipahami secara integratif, maka
komunikasi dalam bahasa Indonesia tidak hanya akan menjadi jelas dan efektif,
tetapi juga sarat akan nuansa dan kedalaman. Maka tidak berlebihan bila
dikatakan bahwa keberhasilan dalam berbahasa baik lisan maupun tulis tergantung
pada sejauh mana seseorang mampu mengharmonisasikan makna, alur berpikir, dan
kaidah kebahasaan dalam setiap tuturan dan teks yang dihasilkan.
1. Semantik: Membedah Makna yang
Tersurat dan Tersirat
Semantik adalah kajian linguistik yang
membahas makna, baik secara leksikal maupun struktural. Dalam kehidupan
sehari-hari, kita sering menemukan kalimat yang secara gramatikal benar, namun
membingungkan secara makna. Misalnya:
“Ibu memarahi
anaknya karena dia malas.”
Kalimat ini ambigu.
Siapakah yang malas? Ibu atau anak? Di sinilah semantik berperan menganalisis
konteks dan kohesi leksikal agar makna bisa ditafsirkan dengan benar.
Salah
satu aspek penting dalam membangun keutuhan pesan dalam teks adalah kohesi,
yang berkaitan erat dengan keterkaitan antarunsur bahasa. Ubedi et al. (2023)
menjelaskan bahwa kohesi leksikal dan gramatikal memiliki peran sentral
dalam menjaga kesinambungan makna antarkalimat dalam sebuah teks. Dalam
praktiknya, kohesi terlihat dari pemilihan kata penghubung yang tepat, seperti selain
itu, oleh karena itu, atau namun, yang tidak hanya
menghubungkan kalimat secara struktural, tetapi juga memperjelas hubungan
semantis antara gagasan yang dikemukakan. Misalnya, dalam sebuah teks
argumentatif, penggunaan oleh karena itu menunjukkan adanya hubungan
sebab-akibat yang memperkuat argumentasi. Sementara namun memberi sinyal
akan adanya pertentangan ide yang tetap berada dalam alur logika yang koheren.
Ketika elemen-elemen kohesif ini tidak digunakan dengan tepat, pembaca akan
kesulitan mengikuti alur pikir penulis. Akibatnya, teks menjadi terputus-putus,
tidak terarah, bahkan dapat menimbulkan penafsiran yang keliru. Oleh karena
itu, kohesi bukan sekadar masalah teknis linguistik, tetapi merupakan jembatan
yang menyatukan makna dalam keseluruhan struktur wacana.
Lebih
dari sekadar soal padanan kata atau definisi dalam kamus, semantik juga
mencerminkan cara berpikir dan sistem nilai dalam suatu budaya. Inilah yang
menjadi titik tekan dalam pendekatan semantik kognitif, yang memandang
bahwa makna tidak hanya dibentuk oleh struktur bahasa, tetapi juga oleh
pengalaman kognitif dan lingkungan budaya penutur. Sakti et al. (2024)
memberikan contoh menarik mengenai penggunaan nama burung cucak ijo
dalam komunitas pecinta burung kicau. Secara literal, cucak ijo merujuk
pada jenis burung tertentu, namun dalam konteks budaya lomba burung, nama ini
memuat makna simbolik yang mencerminkan prestise, keberuntungan, bahkan
identitas sosial pemiliknya.
Hal
serupa disampaikan oleh Saragih & Sitohang (2024) dalam kajiannya terhadap metafora
perempuan dalam peribahasa Indonesia. Mereka menunjukkan bahwa peribahasa
yang menyebut perempuan tidak hanya menampilkan gambaran linguistik semata,
tetapi juga membawa konstruksi budaya yang sering kali bersifat patriarkal.
Metafora seperti “perempuan itu ibarat air mudah dibentuk oleh wadahnya”
secara implisit mencerminkan posisi sosial perempuan yang dianggap subordinat
dalam masyarakat.
Kedua
kajian tersebut menggarisbawahi bahwa makna dalam bahasa tidak bisa
dipisahkan dari cara manusia memaknai realitas di sekitarnya. Dengan
demikian, semantik bukan hanya urusan teknis atau linguistik formal, melainkan
juga membuka ruang refleksi terhadap persepsi kolektif dan nilai-nilai sosial
yang melekat dalam praktik berbahasa. Bahasa, dalam hal ini, menjadi cermin
budaya sekaligus medium internalisasi makna yang kompleks.
2. Logika: Struktur Pikir yang Koheren
dan Rasional
Jika semantik berbicara tentang
makna, maka logika mengarahkan perhatian kita pada struktur berpikir yang
mendasari penyampaian makna tersebut. Dalam kajian kebahasaan, logika hadir
sebagai perangkat yang memastikan agar gagasan tidak hanya disampaikan, tetapi
juga dapat diterima secara masuk akal oleh pembaca atau pendengar. Logika
menjembatani ide-ide agar tersusun dalam urutan yang runtut, tidak
melompat-lompat, dan saling memperkuat satu sama lain.
Dewi & Putra (2022) menekankan
bahwa kebenaran logis dapat dilihat dari hubungan antarpernyataan yang disusun
secara sistematis dan saling terkait. Misalnya, dalam silogisme sederhana:
"Semua siswa rajin belajar. Andi adalah siswa. Maka, Andi rajin
belajar." Contoh ini tampak sederhana, tetapi sebenarnya mengandung
struktur berpikir yang kokoh. Tanpa logika seperti ini, pesan yang disampaikan
dalam sebuah teks bisa menjadi kabur, bahkan menyesatkan.
Dalam teks opini atau argumentasi
di media massa, misalnya, logika menjadi landasan utama dalam membangun
kredibilitas. Pembaca akan mudah memahami dan menerima pesan ketika gagasan
disusun mulai dari latar belakang masalah, diikuti alasan-alasan yang relevan,
hingga tiba pada simpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Tanpa
urutan berpikir yang jelas, opini yang disampaikan berisiko kehilangan daya
pengaruhnya.
Karena itu, dalam pembelajaran
bahasa Indonesia, kemampuan berpikir logis harus dilatih secara konsisten. Guru
tidak cukup hanya menjelaskan definisi logika secara teoritis. Yang lebih
penting adalah melibatkan siswa dalam praktik menyusun teks eksposisi dan
argumentatif secara runtut. Melalui latihan semacam ini, siswa belajar
mengembangkan gagasan dengan struktur yang jelas, mempertimbangkan hubungan
sebab-akibat, dan menyusun argumen yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional. Dengan kata lain, logika tidak hanya penting dalam bidang matematika
atau filsafat, tetapi juga menjadi ruh penting dalam membentuk kualitas
komunikasi bahasa Indonesia yang efektif.
3. Tata Bahasa: Kerangka Formal untuk
Menyusun Makna
Dalam dunia kebahasaan, tata bahasa berperan sebagai kerangka formal
yang menata cara kita menyusun kalimat, memilih kata, dan menyampaikan pesan
dengan jelas serta konsisten. Tata bahasa Indonesia tidak hanya mencakup
struktur kalimat, tetapi juga aturan ejaan, penggunaan tanda baca, dan konvensi
gramatikal lainnya. Penguasaan terhadap aspek-aspek ini bukan sekadar bentuk
kepatuhan terhadap aturan, melainkan fondasi penting agar komunikasi berjalan
efektif dan dapat dipahami oleh siapa pun. Seperti ditegaskan oleh Chairunnisa
(2022), kepatuhan terhadap
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) memiliki peran vital dalam menjaga
keseragaman dan kejelasan dalam penyampaian bahasa tulis.
Sayangnya, masih banyak penutur,
termasuk pelajar, yang kerap mengabaikan aspek-aspek mendasar dalam ejaan,
seperti penggunaan huruf kapital. Padahal, hal ini bukan persoalan teknis
semata. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tulzahra (2023), ditemukan bahwa
siswa sekolah dasar masih sering keliru dalam menempatkan huruf kapital,
terutama dalam penulisan nama diri dan awal kalimat. Kesalahan kecil ini dapat
menimbulkan ambiguitas dalam struktur kalimat dan berpengaruh pada pemahaman
pembaca terhadap identitas unsur dalam teks.
Lebih jauh, tata bahasa juga mencakup sensitivitas terhadap
pilihan kata—terutama dalam hal nuansa makna. Oktami et al. (2019)
menyoroti pentingnya memahami sinonim
adjektiva yang berkaitan dengan sikap batin, seperti antara sedih dan terharu,
atau marah dan kesal. Kata-kata ini memang serupa dalam arti dasar, tetapi
memiliki intensitas dan konotasi yang berbeda. Dalam teks sastra, misalnya,
perbedaan antara kesal dan murka bukan hanya soal emosi, tetapi juga
menyangkut gaya penyampaian, karakter tokoh, bahkan latar sosial budaya yang
ingin ditonjolkan. Begitu pula dalam pidato publik atau iklan, pemilihan kata
yang tidak tepat bisa mengaburkan pesan, mengubah nada emosi, atau bahkan
menimbulkan salah paham.
Oleh karena itu, memahami dan
menerapkan tata bahasa secara tepat bukan sekadar soal benar dan salah,
melainkan tentang bagaimana kita
membangun pesan yang presisi, bernuansa, dan dapat menjangkau pemahaman pembaca
atau pendengar secara utuh. Dalam konteks pendidikan, penguasaan tata
bahasa perlu dilatih tidak hanya melalui hafalan aturan, tetapi juga melalui
praktik menulis dan membaca secara berkelanjutan, agar siswa dapat membangun
keterampilan kebahasaan yang reflektif dan bertanggung jawab.
4.
Sinergi
Ketiganya: Bahasa sebagai Sistem Makna, Struktur, dan Nalar
Memahami semantik, logika, dan tata bahasa secara terpisah sejatinya baru menyentuh
permukaan dari keterampilan berbahasa yang sesungguhnya. Ketiganya harus
diintegrasikan secara utuh dalam praktik kebahasaan agar menghasilkan
komunikasi yang benar-benar efektif dan bermakna. Dalam hal ini, bahasa bukan
hanya sekadar medium teknis, melainkan sebuah sistem berpikir yang melibatkan
dimensi makna, nalar, dan struktur.
Contoh konkret integrasi ketiga aspek ini dapat diamati dalam penulisan teks editorial di media massa. Seorang
penulis tidak hanya dituntut untuk menyusun argumen yang runtut dan masuk akal (logika), tetapi juga harus cermat memilih
kata dan kalimat yang mengandung kekuatan makna, baik secara denotatif maupun
konotatif (semantik). Tak kalah
penting, ia juga harus memperhatikan ejaan, struktur kalimat, dan tata bahasa
agar pesan yang disampaikan tidak kehilangan kejelasan (tata bahasa).
Chairunnisa (2022) dan Tulzahra (2023) telah menegaskan bahwa penggunaan
struktur gramatikal dan ejaan yang tepat bukan hanya mematuhi aturan, tetapi
juga menjadi landasan penting dalam menyampaikan makna dengan jernih. Sementara
itu, Sakti et al. (2024) dan Saragih & Sitohang (2024) membuktikan bahwa
aspek semantik seperti asosiasi makna dan
metafora dapat memperkaya teks—memberikan kedalaman, nilai simbolik,
serta nuansa budaya yang tidak mungkin dipahami hanya dari permukaan kata.
Dengan demikian, penguasaan bahasa
Indonesia yang utuh mensyaratkan kemampuan untuk menyatukan makna, struktur
pikir, dan kaidah formal dalam satu kesatuan ekspresi. Tanpa integrasi
ini, bahasa hanya akan menjadi susunan kata-kata kosong tanpa arah dan dampak.
Namun sebaliknya, ketika semantik, logika, dan tata bahasa berpadu secara
harmonis, maka bahasa menjadi alat yang sangat kuat—bukan hanya untuk
berkomunikasi, tetapi juga untuk membentuk cara berpikir, mempengaruhi orang
lain, dan merefleksikan realitas sosial budaya dengan cara yang paling
bermartabat.
5. Penutup: Pentingnya Pendidikan
Bahasa yang Holistik
Dalam pembelajaran bahasa
Indonesia, pendekatan yang hanya menekankan hafalan kaidah atau aturan formal
tidak lagi cukup. Guru dan dosen harus mulai menekankan pendekatan fungsional
dan integrative mengajarkan tata bahasa sebagai alat bantu untuk
menyampaikan makna (semantik) dan berpikir terstruktur (logika). Dengan
memahami dan menguasai semantik, logika, dan tata bahasa secara menyeluruh,
penutur bahasa Indonesia dapat menyusun pesan yang tidak hanya benar secara
struktur, tetapi juga logis dan menyentuh makna yang dalam. Hal ini akan
berdampak langsung pada kualitas komunikasi kita sebagai individu, akademisi,
maupun warga masyarakat.
Daftar
Pustaka
Chairunnisa.
(2022). Penyuluhan pedoman umum ejaan bahasa indonesia (puebi) kepada guru
di sekolah smp & smk it rahmatuttoyibah aliflahah kecamatan gunung kaler
kabupaten tangerang. Mitra Abdimas Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat,
2(1), 15–20. https://doi.org/10.57251/mabdimas.v2i1.504
Dewi,
N., & Putra, A. (2022). Sistem pemesanan kamar hotel berbasis web
menggunakan php dan mysql. Jurnal Esensi Infokom, 5(1), 49–55. https://doi.org/10.55886/infokom.v5i1.298
Oktami,
N., Manaf, N., & Juita, N. (2019). Nuansa makna sinonim adjektiva sikap
batin dalam bahasa indonesia. Retorika Jurnal Bahasa Sastra Dan
Pengajarannya, 12(1), 44. https://doi.org/10.26858/retorika.v12i1.6578
Sakti,
B., Suparmin, S., & Sudiatmi, T. (2024). Meningkatkan pemahaman konsep
makna asosiatif dalam penggunaan nama burung cucak ijo dalam perlombaan burung
berkicau: kajian semantik. Jiip - Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 7(6),
5940–5947. https://doi.org/10.54371/jiip.v7i6.4581
Saragih,
E., & Sitohang, T. (2024). Metafora perempuan dalam peribahasa
indonesia: kajian semantik kognitif. Jurnal Onoma Pendidikan Bahasa Dan
Sastra, 10(2), 1982–1994. https://doi.org/10.30605/onoma.v10i2.3637
Tulzahra,
F. (2023). Kemampuan siswa kelas v dalam penggunaan huruf kapital pada
penulisan karangan deskripsi. https://doi.org/10.31219/osf.io/kzuah
Ubedi,
A., Sugono, D., & Nurdin, N. (2023). Analisis kohesi leksikal dan
gramatikal serta koherensi dalam teks diskusi. Diskursus Jurnal Pendidikan
Bahasa Indonesia, 6(1), 21. https://doi.org/10.30998/diskursus.v6i1.17127
Komentar
Posting Komentar