Langsung ke konten utama

HAKIKAT, SEJARAH & PERKEMBANGAN SEMANTIK

 

SIDIQ ADITIA 24526005

HAKIKAT, SEJARAH & PERKEMBANGAN SEMANTIK

 

BAB 1 Hakikat Semantik: Menyelami Makna dalam Bahasa

Sejak awal peradaban, manusia telah menggunakan bahasa bukan hanya untuk menyebut benda atau menyampaikan pesan, tetapi juga untuk membentuk dan memahami dunia di sekelilingnya. Kata-kata menjadi jembatan antara pikiran dan realitas, antara individu dan masyarakat. Namun, bagaimana sebenarnya sebuah kata bisa bermakna? Di sinilah semantik hadirsebagai cabang linguistik yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna.

Semantik tidak hanya berkutat pada definisi kata di dalam kamus. Ia menyelami lebih dalam: bagaimana makna itu hadir, berubah, dan dipahami dalam konteks komunikasi. Sebagaimana dijelaskan oleh Sipangpang et al. (2024), kajian semantik menempatkan makna tidak sebagai sesuatu yang statis, tetapi sebagai sesuatu yang terus bergerak, hidup dalam interaksi. Sebuah kata bisa memiliki makna berbeda tergantung siapa yang mengucapkannya, kepada siapa, dalam situasi apa, dan bahkan dalam nada seperti apa.

Namun, untuk memahami makna, kita harus lebih dulu memahami bahasa itu sendiri. Bahasa bukanlah alat kosong yang netral; ia adalah medium yang membentuk cara kita berpikir dan melihat dunia. Warmadewi (2019) menyatakan bahwa analisis semantik tidak bisa dilepaskan dari kesadaran akan bahasa sebagai realitas mental dan sosial. Ketika seseorang berbicara, ia tidak hanya menyusun bunyi, tetapi juga menata makna berdasarkan pengetahuan, pengalaman, bahkan ideologi yang dimilikinya.

Lebih dari itu, makna juga dibentuk oleh pengalaman kolektif. Fitriani (2023) menunjukkan bahwa konsep-konsep seperti metafora, konotasi, dan definisi leksikal bukanlah hal yang berdiri sendiri, melainkan produk dari relasi sosial dan budaya. Kata rumah bagi seorang urban bisa berarti bangunan fisik, tetapi bagi seorang pengungsi bisa berarti keamanan, kerinduan, atau bahkan kehilangan. Semantik dalam hal ini menjadi jendela untuk melihat bagaimana budaya menciptakan lapisan-lapisan makna yang kompleks dan terkadang paradoksal.

Pemikiran-pemikiran ini berpadu dengan teori Noam Chomsky (1998), yang melihat bahasa sebagai bagian dari struktur kognitif manusia. Menurutnya, bahasa adalah hasil dari sistem mental universal yang dimiliki setiap manusia sejak lahir. Maka, memahami makna bukan hanya soal menganalisis kata, tetapi juga menelusuri jejak pikiran dan struktur batin yang menyertainya. Kamus tidak selalu cukup; pemahaman atas makna menuntut pemahaman atas cara berpikir manusia, dan konteks sosial tempat bahasa itu digunakan.

Dengan demikian, semantik berdiri di antara tiga dunia: dunia struktur bahasa, dunia proses berpikir, dan dunia relasi sosial. Ia bukan hanya alat untuk memahami kata, tetapi juga sarana untuk memahami manusia sebagai makhluk yang berpikir, merasakan, dan berinteraksi. Dalam semantik, kita tidak hanya mempelajari bahasa, tetapi juga menyelami bagaimana makna membentuk, dan dibentuk oleh, kehidupan manusia.

 

BAB 2 Menelusuri Akar Makna: Sejarah dan Perkembangan Ilmu Semantik

Sejak manusia mulai bertanya tentang dunia di sekitarnya, pertanyaan tentang makna selalu menyusup dalam percakapan, puisi, dan filsafat. Apa arti sebuah kata? Bagaimana suara bisa menyampaikan ide? Apakah makna itu melekat dalam kata, atau terbentuk dalam benak dan budaya manusia?. Pertanyaan-pertanyaan ini, sesederhana kedengarannya, telah menjadi benih bagi lahirnya ilmu semantik cabang linguistik yang hari ini menjadi kunci dalam memahami bahasa, budaya, bahkan kecerdasan buatan. Namun sebelum semantik menjadi istilah ilmiah, perjalanan panjang pemikiran tentang makna telah lebih dulu berlangsung, melintasi zaman, peradaban, dan disiplin ilmu.

1.     Zaman Kuno: Ketika Makna Didekati Sebagai Filsafat

Kisah ini bermula di dunia klasik: di India, Panini merumuskan sistem tata bahasa yang begitu kompleks untuk bahasa Sanskerta sebuah usaha awal manusia untuk merumuskan struktur makna dalam bahasa tertulis. Di Yunani, Plato dan Aristoteles mengangkat persoalan makna ke ranah filsafat.

Sementara itu, di dunia Barat, peradaban Yunani juga sedang menggumulkan persoalan yang tak jauh berbeda. Plato dan muridnya, Aristoteles, tidak hanya tertarik pada logika dan etika, tetapi juga pada bahasa sebagai medium kebenaran dan realitas. Dalam dialog Cratylus, Plato mengajukan gagasan bahwa hubungan antara kata dan makna bersifat alami setiap kata memiliki hubungan esensial dengan objek yang dirujuknya. Ia percaya bahwa bahasa merefleksikan struktur dunia sebagaimana adanya (Di kutip dalam Ensiklopedia Filsafat Stanford berjudul  “Plato’s Cratylus”).

Namun, pandangan ini tidak bertahan tanpa kritik. Aristoteles, dengan pendekatan yang lebih empiris dan sistematis, berpendapat bahwa bahasa adalah simbol pikiran, bukan representasi langsung dari dunia. Dalam De Interpretatione, ia menulis bahwa suara adalah simbol dari gagasan, dan tulisan adalah simbol dari suara. Di sinilah muncul gagasan awal yang kini menjadi pusat kajian semantik: bahwa makna tidak melekat pada kata itu sendiri, melainkan dibentuk oleh relasi mental dan logis di dalam pikiran manusia.

Pemikiran ini tidak berhenti di Yunani. Di era pasca-Aleksandria, Mesir menjadi pusat kebudayaan dan intelektual baru. Sekolah Aleksandria, yang tumbuh setelah penaklukan Aleksander Agung, melahirkan banyak pemikir yang memadukan tradisi Yunani dengan warisan Timur. Di sini, bahasa mulai dilihat sebagai alat kekuasaan dan ekspresi wacana. Pemikiran linguistik mulai diarahkan pada bagaimana bahasa digunakan untuk memengaruhi, meyakinkan, bahkan mengatur Masyarakat sebuah tema yang jauh melampaui gramatika dan sangat relevan dalam semantik modern.

Melalui akar-akar klasik inilah kita mulai melihat kontur dari apa yang hari ini kita kenal sebagai semantik. Bukan hanya soal arti kata, tetapi juga soal bagaimana manusia membentuk makna, menyampaikan gagasan, dan mempengaruhi dunia melalui bahasa.

 

2.     Abad ke-19: Semantik Lahir sebagai Ilmu

Selama berabad-abad, pemikiran tentang makna tersebar dalam berbagai cabang ilmu filsafat, retorika, filologi. Namun baru pada abad ke-19, semantik mulai diakui sebagai bidang ilmiah tersendiri. Pada tahun 1825, C. Chr. Reisig, seorang akademisi Jerman, membagi ilmu bahasa menjadi tiga bagian: semasiologi (ilmu tanda dan makna), sintaksis, dan etimologi. Meski saat itu belum disebut semantik, gagasan tentang kajian makna mulai memiliki tempat yang jelas (Kurniawan et al., 2023).

Transformasi besar terjadi pada tahun 1883, ketika Michel Bréal, filolog asal Prancis, untuk pertama kalinya menggunakan istilah sémantique dalam bukunya Les Lois Intellectuelles du Langage. Ia menyatakan bahwa bahasa mengalami perubahan makna secara historis, dan perubahan itu dapat dipelajari secara ilmiah. Inilah momen di mana semantik dilahirkan sebagai anak sah dalam keluarga ilmu linguistic (Bréal, 1883).

 

3.     Abad ke-20: Semantik Menjadi Arus Utama

Abad ke-20 menandai sebuah titik balik dalam sejarah semantik. Di masa ini, semantik tidak lagi berdiri di pinggiran ilmu bahasa sebagai topik filosofis yang abstrak. Ia mulai mengakar dalam metodologi ilmiah, berkembang menjadi cabang utama linguistik yang memadukan struktur bahasa dengan pemahaman mendalam tentang pikiran manusia.

Salah satu tokoh revolusioner pada masa ini adalah Ferdinand de Saussure, seorang linguist Swiss yang dikenal sebagai bapak linguistik modern. Dalam kuliah-kuliahnya yang kemudian disusun menjadi buku Course in General Linguistics, Saussure mengusulkan pendekatan sinkronik yakni, mempelajari bahasa sebagaimana adanya pada satu waktu tertentu, bukan semata-mata menelusuri sejarahnya. Pendekatan ini sangat berpengaruh, karena menggeser fokus dari asal-usul kata ke hubungan antar unsur dalam sistem bahasa itu sendiri. Saussure juga memperkenalkan konsep kunci dalam semantik struktural: signifier (penanda) dan signified (petanda). Menurutnya, makna tidak berasal dari hubungan langsung antara kata dan benda nyata di dunia, melainkan dari relasi dalam sistem bahasa itu sendiri. Misalnya, kata kucing tidak bermakna karena ia menunjuk langsung ke hewan tertentu, tetapi karena ia berbeda dari anjing, kuda, dan kata-kata lainnya. Makna muncul dari perbedaan, bukan dari kesepadanan hal ini di jelaskan dalam artikel berjudul Semiotics for Beginners yang di tulis oleh (Chandler, n.d.).

Tidak lama berselang, pendekatan ini mulai dikembangkan lebih jauh oleh para ilmuwan yang tertarik pada data dan bukti empiris. Di antaranya adalah Gustaf Stern, yang pada tahun 1931 menerbitkan buku Meaning and Change of Meaning. Dalam karyanya, Stern tidak hanya menggambarkan perubahan makna secara historis, tetapi juga mengkaji pola-pola perubahan itu secara sistematis dalam bahasa Inggris. Ia mencoba menjelaskan bagaimana kata bisa mengalami pergeseran makna berdasarkan faktor semantik, sosial, dan psikologis. Di sinilah mulai muncul pendekatan semantik yang lebih deskriptif, sistematis, dan terukur.

Dikutip dalam artikel berjudul Universal Grammer yang di tulis oleh (Barsky, n.d.) revolusi terbesar dalam pemahaman bahasa dan makna mungkin datang dari Noam Chomsky, tokoh asal Amerika yang mengubah cara dunia melihat bahasa. Lewat gagasannya tentang tata bahasa universal (universal grammar), Chomsky menyatakan bahwa setiap manusia lahir dengan kapasitas bawaan untuk berbahasa. Bahasa, bagi Chomsky, bukan sekadar kumpulan kata dan aturan, melainkan struktur kognitif yang mencerminkan pola pikir manusia. Pemikiran ini berdampak besar pada semantik. Artinya, jika bahasa lahir dari struktur mental manusia, maka makna pun tidak lagi bisa dipahami hanya dari luar dari hubungan antar kata atau konteks sosial tetapi juga dari cara otak manusia mengonstruksi makna sejak dalam pikiran. Makna menjadi jembatan antara bahasa sebagai sistem eksternal, dan kognisi sebagai sistem internal (Barsky, n.d.).

Dengan demikian, di abad ke-20 semantik tidak hanya berkembang sebagai teori bahasa, tetapi juga sebagai jendela untuk memahami cara manusia berpikir. Ia menghubungkan suara dengan makna, kata dengan ide, dan bahasa dengan kesadaran. Kajian semantik pun menjadi medan tempat bertemunya linguistik, psikologi, filsafat, bahkan neurosains, menunjukkan bahwa memahami makna adalah memahami manusia itu sendiri.

 

4.     Semantik dalam Penafsiran Al-Qur’an: Menafsir Makna Ilahiah

Menurut Azima (2017) di dunia Islam, pencarian makna juga menjadi bagian penting dalam studi keagamaan, terutama dalam tafsir Al-Qur’an. Sejak masa Tabi'in, tokoh seperti Mujahid Ibn Jabbar dan Ibn Juraij sudah menyadari bahwa makna dalam Al-Qur’an tidak bisa dibatasi oleh arti harfiah. Mereka mulai membedakan antara makna dasar (denotatif) dan makna kontekstual (relasional). Tafsir semantik ini berkembang dari masa ke masa, hingga era modern, ketika pemikir seperti Toshihiko Izutsu memperkenalkan konsep medan semantik dalam Al-Qur’an. Dalam God and Man in the Qur’an, Izutsu tidak hanya mencari arti kata, tetapi juga menelusuri jejaring makna yang membentuk struktur pemikiran Qur’ani. Gagasan ini membuka jalan bagi tafsir yang lebih dinamis, kontekstual, dan filosofis.

 

5.     Era Teknologi: Dari Makna Manusia ke Makna Mesin

Foote (2023) menjelaskan bahwa pada Abad ke-21 membawa semantik ke ranah yang mungkin tidak dibayangkan para pendahulunya: ilmu komputer. Seiring berkembangnya teknologi, semantik menjadi dasar dari sistem kecerdasan buatan (AI) dan web semantik. Pada tahun 2001, Tim Berners-Lee, penemu World Wide Web, mengusulkan konsep Web Semantik: sebuah internet yang tidak hanya menampilkan data, tetapi memahami maknanya. Dengan pendekatan ini, mesin bisa mengerti konteks permintaan pengguna dan menyajikan informasi dengan lebih cerdas. Aplikasi seperti Siri dan Google Assistant adalah contoh konkret penerapan teori semantik dalam interaksi manusia-mesin.

 

6.     Penutup: Semantik, Sebuah Cermin Evolusi Intelektual Manusia

Sejarah semantik adalah cerita tentang bagaimana manusia mencoba memahami bahasa dan diri sendiri. Dari filsuf kuno yang memandang makna sebagai bagian dari alam, hingga ilmuwan modern yang menanamkannya ke dalam algoritma, semantik telah berubah dari refleksi filosofis menjadi kekuatan yang menggerakkan teknologi abad ini. Lebih dari sekadar studi kata, semantik adalah cara kita memahami dunia. Ia adalah penghubung antara pikiran dan suara, antara budaya dan kalimat, antara Tuhan dan manusia, bahkan antara manusia dan mesin.

 

Referensi

Azima, F. (2017). Semantik Al-Quran (Sebuah Metode Penafsiran). Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusia, 1(1), 45–73. https://doi.org/10.52266/tadjid.v1i1.3

Barsky, R. F. (n.d.). Universal Grammar. In Encyclopaedia Britannica. https://www.britannica.com/topic/universal-grammar

Bréal, M. (1883). Les Lois Intellectuelles Du Langage Fragment De Sémantique. Annuaire de l’Association pour l’encouragement des études grecques en France, 17, 132–142. http://www.jstor.org/stable/44253893

Chandler, D. (n.d.). A Guided Tour of Semiotics. In Princeton University. https://www.cs.princeton.edu/~chazelle/courses/BIB/semio2.htm

Fitriani, F. (2023). Fungsi, Kategori, Dan Peran Sintaksis Bahasa Arab: Perspektif Linguistik Modern. El-Fakhru, 1(1), 180–212. https://doi.org/10.46870/iceil.v1i1.473

Foote, K. D. (2023). Sejarah Semantik. www.dataversity.net. https://www.dataversity.net/brief-history-semantics/

Kurniawan, A., Muhammadiah, M., Damanik, B. A. R., Sudaryati, S., Dalle, A., Juniati, S., Nurfauziah, A. N., & Suryanti. (2023). Semantik (A. Yanto & T. P. Wahyuni (Ed.)). PT Global Eksekutif Teknologi. https://www.globaleksekutifteknolo

Plato’s Cratylus. (2011). In The Stanford Encyclopedia of Philosophy. https://plato.stanford.edu/entries/plato-cratylus/

Sipangpang, A. D. R., Astuti, C. I., Ramayani, J., & Sari, Y. (2024). Peran Semantik Dalam Komunikasi Sehari-Hari: Analisis Terhadap Makna Kata-Kata Dalam Interaksi Sosial. Jurnal Lingkar Pembelajaran Inovatif, 5(6), 105–117.

Warmadewi, A. A. I. M. (2019). Analisis Semiotik Iklan Pariwisata Negara Australia. KULTURISTIK: Jurnal Bahasa dan Budaya, 3(1), 64. https://doi.org/dx.doi.org/10.22225/kulturistik.3.1.941 ANALISIS

 

 

Komentar