Pendekatan dan Pengembangan Makna Berdasarkan Karakteristik Wacana
Sidiq Aditia 24526005
Universitas PGRI Semarang
Gambar Dumai Masjid Islamic Center
Pendahuluan
Pendekatan dan pengembangan makna dalam wacana merupakan suatu proses yang kompleks, di mana makna tidak hanya tercipta dari struktur linguistik semata, tetapi juga melalui interaksi antara konteks sosial, ideologi, dan kekuasaan yang mendasari praktik komunikasi. Wacana adalah hasil konstruksi sosial yang berfungsi untuk merepresentasikan kondisi historis dan dinamika kekuasaan. Bahasa sebagai sistem semiotik merepresentasikan kenyataan sosial dan menjadi sarana dalam pembentukan serta reproduksi ideologi (Fairclough, 1995; Ratnaningsih, 2019; Ichan & Zakiyah, 2023).
Teori analisis wacana kritis menekankan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga mencerminkan hubungan sosial yang lebih luas. Oleh karena itu, makna dalam wacana seringkali bersifat multi-dimensi dan dinamis, yang melibatkan berbagai lapisan ideologi, konteks sosial, dan tujuan komunikasi (Ratnaningsih, 2019; Anam et al., 2023).
Pendekatan terhadap Makna dalam Wacana
Analisis wacana kritis menggabungkan berbagai pendekatan multidisipliner yang mencakup linguistik, sosiolinguistik, semantik, dan pragmatik untuk mengungkap bagaimana makna dibangun secara kontekstual. Fairclough (1995) menjelaskan bahwa setiap penggunaan bahasa harus dilihat dalam konteks sosial yang lebih luas. Ia membagi pendekatan ini ke dalam tiga dimensi: teks, praktik diskursif, dan praktik sosial.
Selain itu, pendekatan dari tokoh seperti Stephen Ullmann (1962) dalam Semantics menekankan hubungan logis dan emosional dalam pemilihan kata serta dinamika perubahan makna sepanjang waktu, dengan perhatian pada sinonimi, ambiguitas, dan metafora. Begitu pula Nida dan Louw (1992) yang berkontribusi lewat pendekatan semantik leksikal, menggarisbawahi bahwa makna tidak berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi oleh domain semantik dan konteks penggunaannya. Menurut Ichan & Zakiyah (2023), pendekatan dalam analisis wacana meliputi:
1. Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural dalam analisis wacana fokus pada bagaimana elemen linguistik seperti kalimat, frasa, dan kata berhubungan untuk membentuk makna. Ini mencakup kohesi dan koherensi dalam wacana. Contoh: Dalam sebuah berita tentang bencana alam, kalimat seperti "Puluhan rumah rusak parah akibat gempa bumi" dan "Tim SAR dikerahkan untuk membantu korban" saling terhubung untuk membentuk makna bahwa bencana tersebut menimbulkan kerusakan dan ada upaya penyelamatan. Kohesi antara kalimat ini membantu pembaca atau pendengar memahami bahwa kedua peristiwa (kerusakan dan penyelamatan) terkait dalam konteks yang sama.
2. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatik memfokuskan pada penggunaan bahasa dalam situasi komunikasi tertentu dan bagaimana makna dipahami berdasarkan konteks sosial. Pendekatan ini memperhitungkan faktor seperti tujuan komunikasi, hubungan antara pembicara dan pendengar, serta situasi di mana percakapan terjadi. Contoh: Jika seseorang mengatakan "Bisa tolong tutup jendela?" dalam situasi formal, makna yang dimaksud bukan hanya permintaan, tetapi juga menunjukkan sopan santun dan kehormatan kepada orang yang diajak bicara. Dalam konteks sosial yang berbeda, pernyataan ini bisa saja dipahami lebih sebagai instruksi langsung, tergantung pada hubungan antara penutur dan lawan bicara.
3. Pendekatan Kritis
Pendekatan ini mengkaji bagaimana wacana tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga mencerminkan dan mempertahankan ideologi tertentu, serta berfungsi untuk mempertahankan atau menantang struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Pendekatan ini juga menganalisis bagaimana wacana digunakan untuk mengkonfrontasi atau mendukung suatu agenda sosial atau politik. Contoh: Dalam pidato politik yang mengkritik kebijakan pemerintah, kalimat seperti "Pemerintah gagal memenuhi janji-janji kesejahteraan untuk rakyat" tidak hanya menyampaikan kritik, tetapi juga membentuk pandangan negatif terhadap kebijakan tersebut. Kalimat ini memanfaatkan strategi diskursif untuk menciptakan kesan bahwa pemerintah tidak kompeten, yang kemudian memperkuat ideologi oposisi.
Karakteristik Wacana dan Implikasinya terhadap Makna
Wacana adalah sebuah struktur kompleks yang mencakup lebih dari sekadar penggunaan bahasa. Sebagai representasi sosial, wacana terbentuk melalui berbagai elemen yang saling terkait, baik dalam aspek linguistik maupun dalam aspek sosial dan ideologis. Dalam kajian analisis wacana, terdapat beberapa karakteristik yang mempengaruhi bagaimana makna dikonstruksi dan dipahami, antara lain kohesi, koherensi, intertekstualitas, dan register.
1. Kohesi dalam Wacana
Kohesi merujuk pada cara elemen-elemen linguistik dalam wacana saling terhubung dan mendukung satu sama lain untuk membentuk makna yang utuh. Kohesi mencakup hubungan antara kata, frasa, atau kalimat yang membuat teks menjadi terstruktur dan mudah dipahami. Sebagai contoh, dalam teks naratif, kalimat-kalimat yang mengandung hubungan sebab-akibat seperti "kemudian" atau "sebab itu" menunjukkan bagaimana satu bagian teks terkait dengan bagian lainnya. Implikasi terhadap Makna: Kohesi memungkinkan pembaca untuk mengikuti alur pikiran dalam teks dan menghubungkannya dengan pengetahuan atau pengalaman mereka. Dalam analisis wacana, hal ini penting untuk menafsirkan makna secara komprehensif karena keterkaitan antar unsur-unsur dalam teks memberikan konteks yang lebih dalam.
2. Koherensi dalam Wacana
Koherensi berhubungan dengan makna yang lebih bersifat abstrak, yaitu bagaimana bagian-bagian teks terorganisir secara logis dan masuk akal dalam pikiran pembaca. Koherensi melibatkan penggunaan pengetahuan atau skema kognitif pembaca untuk menafsirkan dan mengaitkan informasi dalam teks. Implikasi terhadap Makna: Koherensi mengharuskan pembaca untuk mengandalkan pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri dalam membuat hubungan antara ide yang disampaikan dalam teks. Pembaca tidak hanya memahami kalimat per kalimat, tetapi juga dapat melihat gambaran besar dari teks secara keseluruhan.
3. Intertekstualitas
Intertekstualitas merujuk pada hubungan antara teks yang satu dengan teks lainnya. Ini mencakup referensi, kutipan, atau bahkan pengaruh yang ada antara teks-teks yang berbeda. Dalam wacana, sebuah teks tidak berdiri sendiri, tetapi selalu dipengaruhi oleh teks-teks lain yang telah ada sebelumnya. Implikasi terhadap Makna: Intertekstualitas memberikan dimensi tambahan dalam pengembangan makna, karena pembaca tidak hanya memahami teks berdasarkan kontennya saja, tetapi juga dalam kaitannya dengan teks lain yang relevan.
4. Register dalam Wacana
Register merujuk pada variasi bahasa yang digunakan dalam wacana yang bergantung pada situasi komunikasi, termasuk faktor seperti tujuan komunikasi, hubungan antara pembicara dan pendengar, serta konteks sosial di mana komunikasi berlangsung. Register mencakup aspek-aspek seperti pilihan kata, tingkat formalitas, dan penggunaan idiom atau jargon. Implikasi terhadap Makna: Penggunaan register yang berbeda akan mempengaruhi bagaimana makna dipersepsikan. Sebagai contoh, bahasa yang digunakan dalam situasi formal akan memiliki konotasi yang berbeda dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Dinamika Makna dalam Wacana
Menurut Ciszek-Kiliszewska (2017), bentuk linguistik dalam wacana bisa berubah maknanya tergantung pada konteks sosial dan historis di mana wacana itu digunakan. Misalnya, kata-kata atau frasa tertentu mungkin memiliki konotasi yang berbeda jika dipertimbangkan dalam waktu atau budaya yang berbeda. Oleh karena itu, makna dalam wacana tidak bersifat statis, tetapi dapat bertransformasi seiring dengan perubahan konteks.
Faure (2021) dalam studi tentang klausa wh- dalam bahasa Yunani menunjukkan bahwa struktur sintaksis sangat berpengaruh pada arah makna dalam wacana. Dalam wacana, cara sebuah kalimat dibangun atau susunan kata dalam kalimat dapat mempengaruhi bagaimana makna itu disampaikan. Misalnya, dalam bahasa Yunani Klasik, struktur pertanyaan berbeda dari struktur kalimat pernyataan, yang memengaruhi bagaimana pembaca atau pendengar memaknai informasi yang disampaikan.
Wacana sebagai Bentuk Kontrol Sosial
Teori Foucault (2016) menyatakan bahwa wacana bukan hanya ekspresi linguistik, tetapi juga merupakan bentuk kontrol sosial. Foucault menekankan bahwa wacana memainkan peran penting dalam membentuk dan mempertahankan relasi kekuasaan dalam masyarakat. Wacana tidak hanya digunakan untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk mengontrol dan mengatur cara orang berpikir dan bertindak dalam konteks sosial tertentu. Oleh karena itu, analisis wacana harus memperhitungkan relasi kekuasaan yang terkandung dalam penggunaan bahasa dan cara makna dibentuk dalam masyarakat.
Bahasa sebagai Semiotika Sosial
Sementara itu, Halliday (dalam Santoso, 2008) memandang bahasa sebagai semiotika sosial yang mengodekan realitas sosial. Dalam pandangannya, bahasa tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga membentuk realitas sosial. Dengan demikian, analisis wacana tidak hanya terbatas pada aspek linguistik saja, tetapi juga harus melibatkan analisis terhadap konteks sosial dan budaya yang membentuk makna dalam wacana tersebut.
Pengembangan Makna melalui Ideologi dan Konteks Sosial
Makna dalam wacana tidak terbentuk secara netral atau semata-mata berasal dari struktur kebahasaan. Ia selalu melekat pada konteks sosial, budaya, dan ideologi yang melatarbelakangi produksi serta konsumsi teks. Dalam konteks ini, wacana menjadi medan interaksi yang sarat dengan kekuasaan, ideologi, dan nilai-nilai yang sedang dipertarungkan atau direproduksi. Pendekatan ini merupakan ciri khas dari analisis wacana kritis, di mana bahasa dipandang sebagai alat praksis sosial yang tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa.
Wacana sebagai Arena Hegemoni Ideologis
Menurut Fairclough (1995), wacana merupakan arena hegemoni—yaitu ruang di mana ideologi tertentu dibentuk, dipertahankan, atau bahkan dilawan. Hegemoni dalam konteks ini mengacu pada dominasi ideologis yang tampak natural atau seolah-olah netral melalui bahasa. Dalam teks-teks politik, misalnya, pernyataan seperti "Kami akan membangun masa depan yang lebih baik" tampak sebagai janji yang umum, namun sebenarnya memuat strategi retoris yang bertujuan membentuk persepsi publik, menyiratkan harapan kolektif, serta menciptakan citra positif terhadap aktor politik yang bersangkutan.
Makna dalam Konteks Religius dan Simbolik
Dalam teks keagamaan, makna sering bersifat multi-lapis dan simbolis. Misalnya, kata “cahaya” tidak hanya dimaknai sebagai entitas fisikal, tetapi juga membawa konotasi spiritual seperti pencerahan, kebenaran, dan kesucian moral. Menurut Nida dan Louw (1992), fenomena ini menunjukkan bahwa satu kata dapat mengandung makna literal dan metaforis sekaligus, tergantung pada domain semantik tempat kata itu digunakan. Dalam wacana keagamaan, bahasa cenderung digunakan untuk menuntun emosi, nilai, dan keyakinan, bukan hanya menyampaikan informasi.
Nilai Estetika dan Afidensi dalam Sastra
Wacana sastra, sebagai bentuk ekspresi seni dan budaya, memiliki pendekatan makna yang sangat khas. Eaton (1966) menyatakan bahwa dalam karya sastra, makna tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai emosional dan estetika yang disisipkan oleh pengarang. Konsep afidensi, yaitu daya tarik simbolik dan emosional terhadap pembaca, memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman dan interpretasi. Misalnya, metafora tentang “malam” dapat menyiratkan kesedihan, ketakutan, atau misteri, tergantung pada suasana dan nilai-nilai yang dikonstruksi dalam teks tersebut.
Transformasi Makna dalam Konteks Teknologi
Di era digital, makna dalam wacana mengalami transformasi yang cepat, terutama dalam komunikasi termediasi komputer. Zein et al. (2022) menjelaskan bahwa dalam media sosial, blog, atau forum daring, istilah-istilah tertentu dapat mengalami pergeseran makna tergantung pada komunitas pengguna dan konteks pemakaiannya. Misalnya, kata “viral” yang semula berkonotasi negatif dalam dunia medis, kini lebih sering digunakan dalam arti positif di dunia digital—yakni konten yang populer dan tersebar luas. Fenomena ini menunjukkan bahwa makna bersifat dinamis dan adaptif, serta sangat dipengaruhi oleh perkembangan sosial dan teknologi.
Strategi Argumentatif dan Ideologi dalam Teks
Makna juga dikonstruksi melalui strategi retoris dan argumentatif yang digunakan dalam teks. Menurut Anam et al. (2023) dan Suharti et al. (2023), pilihan kata, penggunaan metafora, struktur kalimat, dan pola argumentasi bukanlah sesuatu yang netral, melainkan sarana untuk membentuk dan menyampaikan ideologi tertentu. Dalam pidato, berita, atau esai opini, strategi seperti generalisasi, pengulangan, dan diksi emotif sering digunakan untuk memperkuat posisi dan memengaruhi cara pandang audiens.
Kesimpulan
Pendekatan dan pengembangan makna dalam wacana adalah proses yang kompleks dan multidimensional. Analisis terhadap makna tidak cukup hanya melalui struktur linguistik, tetapi juga perlu memperhatikan dimensi sosial, ideologis, dan kultural. Wacana bersifat dinamis, dipengaruhi oleh konteks produksi dan konsumsi teks, serta terlibat dalam praktik kekuasaan dan hegemoni. Dengan memadukan teori dari Fairclough, Ullmann, Halliday, Foucault, dan Nida, kita dapat memahami bahwa wacana adalah cermin dari realitas sosial dan ideologi yang mendasarinya.
Daftar Pustaka
Anam, A., Rasyid, Y., & Anwar, M. (2023). Relasi kuasa pada toponimi
nama kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat: Analisis wacana kritis model Ruth Wodak.
Lingua Rima: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 12(3), 199. https://doi.org/10.31000/lgrm.v12i3.10085
Ciszek-Kiliszewska, E. (2017). Middle English Prepositions and
Adverbs with the Prefix be- in Prose Texts: A Study in Their Semantics,
Dialectology and Frequency. Peter Lang.
Eaton, T. (1966). The Semantics of Literature. Mouton & Co.
Fairclough, N. (1995). Critical Discourse Analysis: The Critical Study
of Language. Longman.
Faure, R. (2021). The Syntax and Semantics of Wh-Clauses in Classical
Greek: Relatives, Interrogatives, Exclamatives. Brill.
Foucault, M. (2016). Analisis Wacana Michel Foucault. (Dikutip
dari buku karya Dr. Salamet). Yogyakarta: SUKA-Press.
Ichan, G., & Zakiyah, M. (2023). Manipulasi tokoh perempuan sebagai
dominasi laki-laki dalam film Selesai karya sutradara Tompi: Kajian
analisis wacana Sara Mills. Sintesis, 17(2), 156–170. https://doi.org/10.24071/sin.v17i2.5602
Louw, J. P., & Nida, E. A. (1992). Lexical Semantics of the Greek
New Testament. Scholars Press.
Masitoh. (2020). Pendekatan dalam Analisis Wacana Kritis.
Universitas Muhammadiyah Kotabumi.
Prihartono, R., & Suharyo. (2022). Analisis wacana kritis model Teun
A. van Dijk dalam “#DebatKeren Papua – Budiman Sudjatmiko VS Dandhy Laksono”. Wicara,
1(2), 90–101.
Ratnaningsih, D. (2019). Analisis Wacana Kritis: Sebuah Teori dan
Implementasi. Universitas Muhammadiyah Kotabumi.
Santoso, A. (2008). Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan
Analisis Wacana Kritis. Malang: Universitas Negeri Malang.
Subiyatningsih, F. (2018). Koherensi dalam wacana cakcuk. Sawerigading,
24(1), 119–128. https://doi.org/10.26499/sawer.v24i1.473
Sudaryat, Y. (2006). Makna dalam Wacana: Prinsip-prinsip Semantik dan
Pragmatik. Bandung: Yayasan Cendekia.
Suharti, S., H., R., & Purwati, N. (2023). Analisis wacana kritis
model Fairclough pada pidato Sri
Sultan HB X dalam rangka peringatan satu dasawarsa UU Keistimewaan DIY. Jurnal
Bastrindo, 4(1), 1–13. https://doi.org/10.29303/jb.v4i1.957
Sukarismanti, S., Rustono, R., Mardikantoro, H., & Samsudin, S.
(2024). Analisis wacana kritis surat edaran Gubernur NTB tentang pencegahan
COVID-19: Aplikasi model Fairclough. Jurnal Onoma Pendidikan Bahasa dan
Sastra, 10(1), 789–796. https://doi.org/10.30605/onoma.v10i1.3110
Zein, D., Wagiati, W., & Darmayanti, N. (2022). Transformasi makna
leksikal dalam Bahasa Indonesia mutakhir: Analisis wacana termediasi komputer. Suar
Betang, 17(2), 247–260. https://doi.org/10.26499/surbet.v17i2.356
Komentar
Posting Komentar